//
you're reading...
Info Bara, Nasional

Setelah Inalum, Freeport atau Telkomsel ?

Jakarta – KILAS5.COM ~ Keputusan pemerintah Indonesia mengambil alih atau membeli seluruh saham PT Inalum dari kepemilikan swasta Jepang, patut diapresiasi. Sebuah keputusan berani yang menunjukkan rasa percaya diri sebagai bangsa besar sudah pulih kembali.

Keputusan ini tambah patut diapresiasi sebab momen yang dipilih tepat, sehingga membuat pemerintah Jepang tidak berusaha mencegah pengambil-alihan tersebut yakni saat kontrak karyanya berakhir setelah 30 tahun berlaku. Jika momentumnya tidak tepat, pemerintah Jepang pasti akan ikut campur tangan, membela pengusahanya.

inalum

inalum

Sengketa, memang masih ada. Sebab Jepang masih akan membawa pengambil-alihan itu ke pengadilan Arbitrasi Internasional. Tapi apapun keputusan pengadilan sengketa bisnis tersebut, tidak akan mengubah status kepemilikan Indonesia. Kedaulatan Indonesia atas perusahaan aluminium itu, sudah dijamin. Karena yang digugat oleh Jepang tinggal soal kompensasi harga saja.

Jepang meminta pembayaran yang lebih tinggi dari harga yang dipatok Indonesia. Keputusan Jepang membawa sengketa Inalum ke Arbitrase Internasional, kelihatannya sekedar sebuah gengsi semata. Jepang tidak ingin Indonesia begitu mudah mengusai PT Inalum. Indonesia dia buat harus berkeringat sebelum menikmati keuntungan yang ditinggalkannya di provinsi Sumatera Utara.

Secara bisnis, selisih kompensasi yang berada dalam kisaran triliunan rupiah, cukup besar. Namun dari sudut martabat bangsa, harga itu relatif kecil. Apalagi kalau pembayaran terjadi di saat kursi rupiah sedang kuat.

Selisih triliunan rupiah itu semakin mengecil nilainya apabila Indonesia mampu mengoperasikan PT Inalum sebagai perusahaan yang sehat dan tetap memberi keuntungan finansial. Dan peluang BUMN baru itu membuat untung, sangat terbuka. Sebab Jepang selaku pengelola selama tiga dekade, dalam 3 tahun terakhir mencatat keuntungan.

Sebaliknya walaupun nilai uangnya kecil, yang paling bagus, kalau Indonesia tidak mengeluarkan sepeserpun. Misalnya dengan alasan tidak ada alih teknologi yang diberikan Jepang selama 30 tahun. Atau laporan yang menyebut bahwa Inalum terus merugi selama 27 tahun, perlu diverifikasi lagi. Sebab kalau keadaannya seperti itu, berarti proposal bisnis yang dibuat Jepang lebih dari 30 tahun lalu, data yang menjadi dasar dikeluarkannya izin investasi, berarti bohong besar.

Konkritnya, Jepang atau industriawan yang berinvestasi di Inalum telah melakukan kebohongan publik kepada pemerintah Indonesia. Kebohongan itu harus dibayar Jepang.

Satu hal lagi yang membuat bangsa Indonesia perlu mengapresiasi pemerintah, kembalinya Inalum membuka perspektif baru. Bahwa tidak ada kerja sama bisnis dan investasi asing di Indonesia yang tak bisa diubah. Sepanjang para negosiator kita mempunyai kemampuan profesional melakukan negosiasi dan punya martabat, tak ada kerja sama internasional yang permanen total.

Kembalinya Inalum secara tidak langsung membuka mata semua pihak, semua perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia apalagi dia menguasai hajat hidup orang banyak, kerja samanya perlu dirundingkan ulang.

Selama ini ada kekhawatiran, jika Indonesia mengintrodusir mekanisme negosiasi ulang atas sebuah kerja sama bisnis internasional, langkah itu dianggap akan merugikan Indonesia. Pemerintah kita akan dituduh sebagai pihak yang tidak patuh pada perjanjian yang disegel dengan meterai internasional.

Akibatnya sejumlah perusahaan asing terus berlindung di balik kekhawatiran kita itu. Hasilnya sekalipun Indonesia terus merugi, hasil sumber daya alam kita terus disedot asing, pemerintah tetap enggan melakukan negosasi ulang. Padahal kekhawatiran itu terlalu berlebihan.

Di era informasi seperti sekarang, kekhawatiran itu bisa ditutup dengan konsep pencitraan. Kita bisa menyewa perusahaan pencitraan dari negara asing untuk membela kepentingan Indonesia. Biayanya jauh lebih murah.

Pasca penjajahan,Presiden pertama Indonesia, Ir.Soekarno atau Bung Karno melakukan nasionalisasi perusahaan khususnya Belanda. Di antaranya perusahaan minyak yang sekarang bernama Pertamina.

Situasi politik di Indonesia pada waktu itu memang berbeda dengan sekarang. Tapi perbedaan situasi itu tetap memungkinan Indonesia melakukan nasionalisasi. Yang harus jadi pegangan, sejumlah negara sahabat di Amerika Selatan saat ini, justru melakukan nasionalisasi perusahaan asing dimana mereka terinsipirasi oleh tindakan yang dilakukan pemimpin Indonesia lebih dari 50 tahun lalu.

Pertimbangan dan alasan yang mereka gunakan, pembagian saham dan keuntungan, tidak didasarkan pada keadilan. Hal mana membuat investor asing tidak bisa berkutik. Hasilnya, negara-negara yang memberlakukan langkah yang ditiru dari kita seperti Venuzuela, Brasil dan Kolombia, tetap diincar oleh investor asing. Jadi tidak sepenuhnya benar bahwa nasionalisasi itu negatif, karena akan membuat investor asing angkat kaki.

Perusahaan asing di negara-negara Amerika Selatan itu tidak hadir seperti Belanda menjajah Indonesia selama berabad-abad. Mereka melakukan business as usual. Hanya saja secara ekonomi mereka melakukan penjajahan seperti Belanda dengan cara menyedot semua kekayaan.

Mereka (asing) menerapkan bisnis yang tidak berkeadilan. Sebuah sikap yang sama saja dengan sebuah penjajahan. Saat ini ada indikasi sejumlah perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia juga melakukan penjajahan secara ekonomi. Mereka menjalankan bisnis yang tidak berbasis keadilan.

Terhadap perusahaan asing seperti ini pemerintah tidak perlu ragu melakukan renegosiasi. UU Penanaman Modal Asing dibuat pemerintah pada 1968. Selama lebih dari 40 tahun, UU itu terus diperbaharui dan pembaharuan rata-rata dilakukan hanya untuk memberi kenyamanan kepada pihak asing.

Jarang atau bahkan tidak pernah terjadi penyempurnaan UU PMA dilakukan untuk membuat posisi Indonesia lebih kuat. Posisi Indonesia sebagai pemilik semua harta tak bergerak, yang seharusnya kuat, dibuat menjadi lemah. Kelemahan Indonesia dieksploitir dengan selalu menyebut tidak menguasai atau memiliki teknologi.

Kalau semangat seperti itu masih terus dilanjutkan, sampai kapan pun tak akan pernah ada renegosiasi. PT Freeport misalnya yang merupakan investor asing pertama di 1968, sampai kapan pun tak pernah bisa disentuh.

Bisa dipahami kalau pemerintah tak punya kemampuan meminta perundingan ulang dengan PT Freeport. Karena sudah menjadi tradisi, setiap kali muncul usaha Indonesia mengarah ke sana, Washington, melalui berbagai cara terus melakukan lobi dan diplomasi. Ketidakmampuan Indonesia menghadapi Amerika Serikat antara lain karena konon campur tangan yang dilakukan Washington bisa melibatkan orang nomor satu kedua negara.

Kalau Freeport sulit dirundingkan kembali, seharusnya tidak demikian dengan PT Telkomsel. Di BUMN telekomunikasi ini terdapat 35% saham perusahaan negara Singapura. Banyak alasan yang bisa dipersoalkan atas masuknya saham Singapura di perusahaan telekomunikasi ini.

Di antaranya, melalui kepemilikan itu, otoritas Singapura memiliki akses untuk memonitor semua komunikasi orang Indonesia. Tak terbatas pada eksekutif di Telkomsel tetapi sampai tingkat Presiden dan Wakil Presiden. Secara faktual akses Singapura seperti ini melebihi kegiatan spionase Amerika Serikat seperti yang diungkap oleh Edward Snowden.

Ketidak adilan terjadi, karena secara proporsional tidak cocok dengan komposisi penduduk kedua Indonesia. Dengan saham itu jika Telkomsel memiliki pelanggan 50 juta orang saja, itu berarti saham Singapura sama dengan 17,5 juta orang. Padahal total penduduk Singapura tidak sampai 5 juta orang. Data terakhir menunjukkan total pelanggan Telkomsel sudah mencapai 80 juta orang. Jelas tidak patut, tidak adil!

Perundingan ulang dengan Singapura, tetap dimungkinkan. Sepanjang juru runding kita punya kebanggaan nasional dan rasa percaya diri. Dan yang paling penting, juru runding kita tak mudah disuap oleh otoritas Singapura. [mdr/inilah]

About batubaranews

Info-Info MEMBARA !!

Diskusi

Belum ada komentar.

Tinggalkan komentar

Klik tertinggi

  • Tidak ada